Kumpulan Puisi Cinta Karya Mas Donda

11.34

Kumpulan Puisi Cinta Buah Karya Mas Donda

Kumpulan puisi cinta buah karya Mas Donda ini berisi beberapa judul puisi bertema cinta dan asmara. Dua hal indah yang senantiasa melanda insan yang merindukan kasih sayang. Kumpulan puisi cinta ini juga banyak menceritakan persepsi subyektif seorang pria (penulis) tentang wanita.

Hidup tanpa cinta ibarat langit yang tak berbunga. Seperti mesin-mesin yang bergerak tanpa saling menyapa, tersenyum, dan berinteraksi hangat.

Cinta adalah anugerah indah yang diberikan Tuhan Yang Maha Penyayang. Tujuannya agar manusia hidup berlandaskan kasih sayang.

Hidup yang selalu diiringi rasa kasih sayang akan terasa lebih menentramkan. Manusia akan berbuat dan berperilaku lembut tanpa mau merugikan orang lain.

Hanya Sebagai Goresan Pena Penyambung Jiwa

Kumpulan Puisi Cinta yang saya susun ini tentu masih jauh dari kata layak. Jika dinilai dari segi ilmu sastra maka Kumpulan Puisi Cinta ini jauh dari predikat Baik.

Namun sebagai manusia biasa, saya juga mempunyai keinginan untuk menumpahkan segenap uneg-uneg dari ruang batin. Yang menggema lewat dinding-dinding kerinduan.

Kumpulan Puisi Cinta Karya Mas Donda
Kumpulan Puisi Cinta Karya Mas Donda

Semoga kumpulan puisi cinta yang saya susun ini bisa menjadi inspirasi bagi Anda. Agar hidup selalu berlandasakan cinta, kehangatan, dan kasih sayang. Karena cinta adalah anugerah yang indah, disamping anugerah-anugerah Illahi lainnya.

Puisi-Puisi Cinta Karya Mas Donda

Berikut ini adalah puisi-puisi cinta yang berhasil saya buat dengan sepenuh hati dan saya susun di artikel Kumpulan Puisi Cinta Karya Indah Mas Donda:

Puisi #1: Lamat-Lamat Mega

Lamat-Lamat Mega mulai berarak tak beraturan,
terseret oleh “raga” yang tak pernah diam,
kadang ia menari ke kanan,
dan kadang ia bergoyang ke kiri…

Lamat-Lamat Mega mulai merangkak ke balik gunung,
meninggalkan jejak-jejak kehilangan…

Remang-remang pelangi mulai memudar di penghujung senja,
lenyapkan rona mudanya,
tersisih oleh sinar bulan purnama…

Ada rasa yang tak terungkap lewat bait-bait puisi,
ada hasrat yang tak tertuang dalam lirik-lirik lagu,
ada gejolak yang tak tersaji diatas syair-syair para pujangga,
dan ada makna yang tak mungkin ditemukan keberadaannya…

Dan tiba-tiba langkahku terhenti,
pada satu pertanyaan yang mengusik lamunanku :
“Mengapa hari ini, aku begitu merindukanmu…???”

Puisi #2: Sentil

Tak sentil kamu,
Apa? Kamu bilang aku ini modus?
Hah!?…memangnya apa sih yang tlah menghasut hatimu,
sampai-sampai aku ini kau “goyang” kesana kemari,
tanpa misi yang tersurat, jelas, tegas, dan bergegas….

Tak sentil kamu,
Sudah kubilang…hapus air mata!
Tak usah…tak usah…tak usah!
Tak perlu…tak perlu…tak perlu!

Bibir sendu itu hanya akan membuang-buang waktumu saja,
yang sejatinya bisa kau manfaatkan,
tuk menanam bibit cinta dan bahagia….

Tak sentil kamu,
Seberapa pantaskah,
dia…dia…dan dia bagimu?
Seberapa pentingnya,
dia…dia…dan dia,
bila dibandingkan dengan emak,
yang dulu setia “nyebokin” sisa-sisa makanan bergizimu,
yang harus emak tebus dengan peluh dan lelah?

Tak sentil kamu,
Iwal-iwil mak kemriwil,
prenthal-prenthil ngopenin kamu,
ehh…ehh kamu malah sibuk jowal-jawil ngeladenin Si Srinthil yang terkenal super centil….

Tak sentil kamu lho….

[Sungai Bambu, 27 Februari 2015, 10:00]

Puisi #3: Gitar Tak Bersenar

Rindu adalah isyarat hati yang melanggengkan rasa cinta,
ia adalah selubung-selubung tipis,
yang terbentuk karena ruang dan waktu,
sedang tak ingin bercumbu,
dalam gempita jiwa,
yang mengukir lukisan harmoni,
dalam setiap kisah yang berpadu,
menobatkan kalimat kesyahduan…

Janganlah engkau titipkan kerinduanmu,
pada gitar yang tak bersenar,
karna ia pasti tak akan mampu,
mengantarkan lelahmu,
terhempas dalam rasa yang menusuk kalbu,
meski hanya untuk menyanyikan,
sebait syair yang engkau hadiahkan,
pada sang kekasih yang tlah mengikat ego dan perhatianmu…

Janganlah engkau bisikkan kerinduanmu,
pada seruling yang tak berlubang,
karna ia akan membungkus getirmu,
dalam ruang-ruang bisu,
yang menyisakan kesunyian,
menempa batinmu dalam notasi-notasi hampa,
dalam denting-denting tak bermakna…

Tapi…sampaikanlah kerinduanmu,
melalui sang mentari yang menyambutmu pada pagi yang sumringah,
karna ia kan slalu mampu mencairkan dan menghangatkan,
nafas-nafas beku yang terjebak,
terhimpit diantara bebatuan nan kaku,
dan tak mau berbagi kehidupan dengan makhluk disekitarnya…

Dan aku percaya,

bahwa kerinduanmu akan terjawab dengan sempurna….

[Sukapura, 08 Februari 2015, 20:33]

Puisi #4: Addyssa

Addyssa,
sebuah nama yang kau tautkan,
untuk menyatukan dua hati,
dan sejak saat itu mimpiku tak pernah lengah memanggil namamu…

Addyssa,
mungkin kini tlah kau sadari,
betapa rasa yang terkekang,
tlah tercabik-cabik oleh ego dan kemunafikan…

Addyssa,
hidup itu adalah pilihan,
yang slalu bergantung pada bisikan nurani…
dan aku pun tak mengerti,
mengapa dulu kau tak mau jujur,
agar aku pahami jalan mana yang akan kaulewati…

Addyssa,
maafkan jika langkah yang kutuju,
tak pernah kukabarkan pada setangkai mawar ungu,
yang slalu kau genggam bersama baris-baris kerinduan,
dalam sebuah lagu yang berjudul:
“Semua Tentang Kita”…

Addyssa,
sungguh akupun akan menangis,
tatkala merasakan redupnya cahaya rembulan,
yang tak lagi menghangatkan senandung malam,
dan tak mau menemani isyarat kesunyian,
yang slalu kau nyanyikan…

Addyssa,
ditaman Gasibu kurasakan firasat,
tentang sebuah dongeng sang Pangeran yang terpisah,
dari Putri yang dicintainya,
meski aku sadari,
begitu kuatnya genggaman tanganmu…

Addyssa,
Semoga senyummu kan slalu kudengar,
bersama tarian-tarian merpati,
ditepian jalan desa Tambaksari…

Puisi #5: Mimpi Semalam

Cinta dan nafsu menari di kedinginan malam,
logika dan pengalaman pun pasrah,
karna kuasa nafsu selangkah lebih cepat, gesit, dan amat lihai…

Namun mereka tak mampu mengelabui sang waktu,
memaksa mereka tuk segera mematuhi janji-janji yang lahir sebelum Adam diciptakan…

Tiba-tiba angin bertiup sangat kencang,
berbaris melingkar hingga tersusun mirip piring raksasa,
membabi buta bak singa yang kelaparan,
hingga hancur berantakan…

Dan akupun hanya bisa bergulat dalam kepanikan,
berlari menghindar karna takut,
bersama bayang-bayang khilaf, yang mencoba menikamku dari belakang…

Sampai saat angin itu pergi,
dan kulihat kamu ada di pinggir pantai itu….

Puisi #6: Jelita Pagi

Jelita pagi susuri jalan beraspal,
di sebuah gerbang kota…

Lelaki separuh baya dan bocah-bocah belia,
tengah asyik memainkan boomerang andalannya,
terbang meretas dedaunan membelah udara pagi,
dihamparan rumput taman kota harapan indah…

Jelita pagi tersenyum sumringah,
matanya tertuju pada sepasang bayi kembar,
begitu anggun laksana sepasang putri cantik,
menitis pesona bidadari,
membalur setiap kesunyian,
berganti bulir-bulir hangat yang menetes dari sumur keabadian…

Dan ia pun kembali tersenyum, karna pagi ini alam menampilkan aura terindahnya….

Puisi #7: Stop!

STOP!
Kita memang belumlah sampai pada tempat yang dituju,
bukanlah pula kukatakan bahwa langkah mesti berakhir disini,
hanya ingin memastikan saja,
apakah angin masih terlalu kencang,
apakah awan masih sangat menggumpal,
apakah terik mentari masih menyengat hebat?

STOP!
Tak ada cerita tentang hati yang pasrah,
tak ada cerita tentang jiwa yang lelah,
dan tak terbesit kata “menyerah”,
membalut asa bersama sisa-sisa “kuasa” yang tersimpan rapi dalam sanubari…

STOP!
Sejenak ingin kubasuh lara,
dan kugenggam erat jemari lentikmu…

STOP!
Sesaat ingin kuluruhkan ketakutan,
dan kubelai rambutmu yang mulai memutih…

STOP!
Mungkin ada rumus atau logika yang salah,
hingga kita tak pernah bisa temukan jawaban yang pasti…

STOP!
Dan ingin kuberkata:
“Aku masih menyayangimu…”

[Kota Harapan Indah, 06-12-2015, 07:05]

Puisi #8: Desir

Desir ini terus menggema,
halus dan lembut meniup sukma,
membawa gelombang rasa,
beriring syahdu memasuki lorong-lorong sempit di dalam dada…

Desir ini terus berkumandang,
bagai lantunan suara adzan,
yang berpindah titik pancarnya,
dari satu tempat ke tempat lainnya…

Desir ini tak pernah lelah membasuh gelisahku,
bersama hawa yang terasa berbeda,
antara satu masa dengan masa-masa lainnya,
kadang ia terasa sejuk,
kadang ia terasa hangat,
dan kadang ia terasa dingin bak udara pagi di kaki Gunung Slamet…

Tujuh masa tlah kulewati,
bersama gemuruh bising di pinggiran kota Jakarta,
namun tiada mampu samarkan desir ini…

Desir ini hidupkan rasa yang kadang lumpuh,
bangkitkan “cakra” yang tertutup khilafku,
sebuah titisan damai yang abadi…

[Sukapura, 14-12-2015, 22:21]

Puisi #9: Dan Semenjak Itu

Dan semenjak itu aku menjadi KACAU,
merelakan segudang kerinduan,
melepaskan seikat harapan,
memberikan ruang bagimu,
tuk semakin jauh dan menghilang…

Dan semenjak itu aku menjadi RISAU…
mengakui betapa kerdilnya diri,
yang gagal menterjemahkan setiap mimik dan gestur,
yang sejatinya mesti kurangkai menjadi kalimat terindah di dunia…

Dan semenjak itu aku menjadi GALAU…
bagai jaringan komputer terhebat yang tiba-tiba terhenti,
ada namun tak berdaya,
hadir namun tak berguna,
tampak namun tak terlihat…

Dan semenjak itu pun, aku merasa bukan siapa-siapa….

[Kota Harapan Indah, 13-12-2015, 07:06]

Puisi #10: Nikmati Saja

Mungkin engkau berpikir,
bahwa aku terlalu acuh dengan dirimu,
karna tak satupun nasihatmu,
harmoni dalam gerak dan langkahku…

Mungkin engkau merasa,
aku terlalu sibuk dengan anganku,
habiskan seutas senja,
yang hampir saja terpeleset,
pada setengah kegelapan,
yang mengetuk pintu-pintu kesunyian,
mengaum bersama serigala-serigala buas yang rindu pada sorot-sorot mata ketakutan…

Atau mungkin engkau slalu mengira,
bahwa tali yang kupegang telah rapuh dan hampir putus,
hingga tak ada lagi sebait salam yang engkau hibahkan,
sebagai nyanyian penghias pesona malam…

Bukankah dulu tlah kuikrarkan?
Sepotong keraguan yang terbungkus asa dan doa,
dan slalu kutegaskan,
bahwa tak ada lagi yang perlu kita risaukan…

Kuakui memang,
terik yang menyengat ini,
tlah membawa panah-panah beracun,
yang hampir saja membuatku terkulai, lemas dan hampir tak berdaya…

Namun aku tak akan rela,
melihat senyummu terkurung dalam penantian,
bagai bunga yang tertahan,
menggugurkan mekar wanginya,
menyangga butiran debu yang semakin tebal dan melekat…

Sayang….
perjalanan ini memang masih jauh,
lukisan bertajuk cinta dan kebahagiaan abadi pun,
belumlah sampai pada goresan terakhirnya…

Satu goresan yang mampu memberikan satu warna spesial,
dan akan membuat takjub setiap makhluk,
yang secara sengaja ataupun tidak,
melihat binar keromantisannya,
dan aku hanya ingin mengatakan,
nikmati saja…

Yah, nikmati saja selagi waktu,
masih mesra merangkul impian tulusmu,
selagi masa masih enggan,
untuk meleburkan raga,
kembali dalam pelukan ibu pertiwi,
dan mengantarkan jiwa,
pada sisi lain kehidupan,
yang sampai kini masih tersimpan rapi,
sebagai rahasia yang tak mungkin tergoyahkan…

Sekali lagi kukatakan,
nikmati saja….

Puisi #11: Sun Sayang

Sun Sayangku untukmu nan jauh disana,
sebagai penghangat jiwa saat kau terlelap,
di istana mungilmu pada bukit yang berlembah…

Sun Sayangku untukmu nan jauh disana,
sebagai tanda mata,
yang mengikat janji,
tuk saling menguatkan…

Sun Sayangku untukmu nan jauh disana,
sebagai bingkisan paling istimewa,
yang mampu lenyapkan lelah dan penatmu di penghujung hari,
menanti mentari tuk cerahkan setiap hasrat dan mimpimu…

Sun Sayangku untukmu nan jauh disana,
inilah kejutan kecil yang kutitipkan pada angin,
membawa syair-syair kerinduan,
dan menuntut hati pada hakikat pertemuan,
bahwa pertemuan sejati,
adalah saat hasratmu dan hasratku,
berpadu dalam senandung salam yang kita degungkan…

Sun Sayangku untukmu nan jauh disana….

Baca Juga : PUISI UNTUK SAHABAT - RISAU
Baca Juga : PUISI - SEBELUM KATA KUN TERDENGAR

[ Gambar Artikel : www.catatan.co.id ]
Previous
Next Post »
0 Komentar