Cerita Seorang Kakek Yang Rindu Anak Cucunya

09.44

Cerita Seorang Kakek Dari Desa

Cerita seorang kakek dari desa yang berencana ingin menemui anak dan cucunya yang kini tinggal di kota.

Sebut saja namanya Kakek Somad. Adalah seorang petani dari desa Kebanggan, Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah.

Sepuluh tahun yang lalu Kakek Somad adalah seorang petani yang sangat miskin yang sehari-hari menggarap sawah milik sang juragan tanah.

Meskipun menggarap sawah milik orang lain, Kakek Somad tetap bekerja sepenuh hati menggarap sawah.

Hasil panen sawah milik sang juragan pun bisa melimpah. Itu karena Kakek Somad sangat jujur dan telaten dalam bekerja.

Ketika Sang Juragan Pindah Rumah

Mendengar berita bahwa sang juragan akan pindah ke luar kota, Kakek Somad merasa sedih. Dalam bayangannya, ia akan menjadi pengangguran.

Sebelum menganggur kondisinya sangat miskin, apalagi nanti kalau dia sudah tak bekerja menggarap sawah sang juragan.

Karena kabarnya, di sawah milik "bosnya" itu akan dibangun perumahan elit. Artinya tak ada harapan bagi Kakek Somad untuk menggarap lagi sawah tersebut.

Kakek Somad Berjualan Es Dawet

Tiga tahun berlalu begitu cepat. Sehari-hari Kakek mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan berjualan es dawet keliling.

Alhamdulillah. Hasil jualan es dawet dua kali lipat dari upah menggarap sawah sang juragan dulu.
Sore itu seperti biasa, Kakek Somad menghabiskan waktu dengan menikmati secangkir kopi hitam. Ditambah dengan sepiring ketan goreng, membuat ia asyik dengan kesendiriannya.

Ia sudah lama tinggal sendiri sejak anak laki-laki semata wayangnya memutuskan untuk merantau di kota. Karena tak tahan hidup miskin.

Dua orang cucu kesayangannya yang masih duduk dibangku kelas 5 dan 6 pun tak bisa menemaninya lagi. Sungguh ia sangat kesepian.

Hari Penuh Syukur Bagi Kakek Somad

Sore itu pula tiba-tiba ada sebuah mobil mewah yang memasuki halaman sempit rumahnya. Kakek pun bingung siapakah orang yang akan menemuinya?

Tiga orang turun dari mobil. Salah satunya ada yang memakai seragam polisi. Jantung Kakek Somad pun makin berdebar.

Setelah bersalaman dan menyapa, mereka bertiga pun dipersilakan duduk di "Risban" reot karena usianya sudah lama. Hampir sama dengan umur Si Kakek.

Dengan tatapan yang berdebar-debar kakekpun mendengar maksud dan tujuan ketiga orang tersebut.

"Pak Somad, kami ingin mengabarkan bahwa seminggu yang lalu Pak Syaiful yang dulu sawahnya bapak garap sudah meningg*l. Kami datang kesini untuk menyerahkan sertifikat sawah seluas 10 hektar. Pak Syaiful sebelum meninggal sudah membuat surat wasiat yang sah secara hukum. Sawah tersebut kini menjadi milik bapak."

Kakek Somad pun terkejut bukan main. Apalagi diantara ketiga orang tersebut, turut hadir anak perempuan tunggal Pak Syaiful.

Putri Pak Syaiful adalah direktur sebuah perusahaan besar di Jakarta. Dan putri Pak Syaiful sudah ikhlas, alias ridho bahwa sawah tersebut diserahkan ke Kakek Somad.

Dan mereka pun pergi setelah menyerahkan tiga lembar sertifikat tanah.

Tangan Kakek gemetar hebat. Ia pun langsung bersujud sebagai ungkapan rasa syukurnya. Impian si Kakek untuk berangkat haji pun kini bisa terwujud melalui jalan yang tak disangka-sangka.

Kakek Somad Berangkat Ke Jakarta

Rezeki berupa sawah yang sangat luas untuk ukuran dirinya membuat Kakek Somad memutuskan berangkat ke Jakarta untuk menemui anak dan kedua cucunya.

Setelah menemui seorang imam Masjid untuk keperluan sedekah dan zakat, Kakek Somad meluncur menuju Jakarta menggunakan Kereta Api Jaka Tingkir.

5 setengah jam perjalanan dari Purwokerto menuju Jakarta terasa sangat cepat bagi sang Kakek.
Ia tak sempat melihat pemandangan di luar kereta karena terus terbayang dengan kedua orang cucunya yang mungkin saat ini sudah kuliah atau bekerja.

Pagi Itu Di Sebuah Kotrakan Sempit di Jakarta

Sebuah taksi berwarna biru berhenti di sebuah kontrakan sempit di daerah Jakarta Utara. Seorang perempuan berusia 33 tahun tampak tersenyum manis menyambut kedatangan Kakek Somad.

Perempuan tersebut adalah anak mantu Kakek Somad. Ibu dari kedua cucunya, Tono dan Tini. Anak mantu yang dulu sering mengeluh, karena suaminya tak lekas mendapatkan pekerjaan setelah mereka berdua menikah.

Dan suara sumringah pun terdengar dari dalam kontrakan. Tono dan Tini terlihat girang dengan kedatangan Kakek yang sudah sepuluh tahun lebih tak pernah bertemu.

Pelukan erat dan cukup lama pun mewarnai pertemuan Kakek Somad dengan anak cucunya.

Hanya Terasa Indah Di Hari Pertama

Sambutan anak cucunya membuat Kakek bersyukur. Karena mereka adalah keluarga satu-satunya yang Kakek Somad miliki.

Meskipun kini anak semata wayangnya hanyalah seorang buruh pabrik dengan gaji pas-pasan, pertemuan dengan anak cucu adalah hal terindah yang pernah terjadi dalam hidup Kakek Somad.

Namun hari kedua dan seterusnya menjadi momen yang terasa aneh buat Kakek Somad. Anak cucunya terlalu sibuk dan jarang bisa berkumpul, meskipun hanya satu jam dalam sehari.

Sehingga niat Kakek Somad untuk menceritakan sebuah berita baik pun tak terlaksana. Anak cucunya juga terlihat sibuk dengan gadget yang mereka miliki.

Namun Kakek Somad tak mau "rasa kecewa" yang begitu menembus batinnya itu terlihat oleh anak cucunya. Kakek Somad tetap berusaha untuk tetap tersenyum meski dalam kesedihan.

Surat Cinta Dari Kakek

Karena harus mengurus berkas pendaftaran haji di Semarang, Kakek Somad pun berpamitan pulang ke Purwokerto.

Kakek berharap ada salah satu cucunya yang "menahan" sang kakek untuk jangan buru-buru pulang. Tapi mereka tampak sibuk dengan gadget, sehingga momen "pamitan" pun menjadi kurang berkesan bagi Kakek Somad.

Akhirnya Kakek Somad pun berpamitan pulang ke Purwokerto. Sambil mengatakan bahwa ia telah meletakkan sebuah surat untuk dibacakan anak laki-lakinya dihadapan kedua cucu dan mantunya.

Agar surat tersebut dibaca, Kakek berpesan bahwa ia telah menaruh uang jajan untuk kedua cucu kesayangannya.

Aziz anak laki-laki semata wayang Kakek Somad pun segera mengambil surat tersebut. Padahal saat itu taksi yang mengantar si kakek mungkin sudah sampai di Stasiun.

Aziz pun membaca sepucuk surat yang isinya:
"Anak dan cucuku yang Kakek sayangi. Melalui surat inilah Kakek dapat bercerita banyak kepada kalian semua."

"Kakek sebenarnya ingin sekali mengobrol dengan kalian sambil menikmati secangkir kopi hitam dan sepiring pisang goreng bersama. Yah persis seperti yang kita lakukan sepuluh tahun yang lalu di desa. Meskipun waktu itu Kakek adalah petani yang miskin."

"Tapi Kakek amati kalian sangat sibuk, dengan aktifitas yang tak Kakek ketahui, sibuk pula dengan gadget yang kalian miliki."

"Seminggu lagi akan datang seorang Marketing Sebuh Perumahan. Yang akan mengantarkan kunci rumah dan sertifikatnya."

"Anak dan cucuku yang Kakek sayangi, nanti kalian bisa menempati sebuah rumah yang sudah Kakek belikan untuk kalian. Agar kalian tak berebut lagi saat akan tidur di kamar kontrakan."

"Kakekpun sudah mendaftarkan haji untuk anak Kakek dan istrinya, yakni anak mantu perempuan yang juga sangat Kakek sayangi."

"Pesan Kakek, meskipun teknologi bisa membuat kalian senang dan sibuk. Tapi Kakek ingin kalian meluangkan waktu satu jam bersama dalam sehari. Karena Kakek ingin agar kalian selalu sehat, rukun, dan bahagia. Salam sayang dari Kakek"

Sebuah Hari Yang Penuh Dengan Penyesalan

Akhirnya surat cinta itupun basah. Aziz anak laki-laki Kakek Somad menangis hebat. Merasa bersalah karena telah menyia-nyiakan momen yang seharusnya bisa menjadi indah.

Mereka telah bersikap acuh dan tak peduli dengan Kakek yang sudah rindu untuk bercengkerama dan menghabiskan waktu bersama dengan anak cucunya.

Mereka pun kini sadar dengan apa yang mereka lakukan. Kesibukan, gadget telah merampas sisa waktu untuk membangun kebersamaan. Bahkan juga kualitas ibadah kepada Yang Maha Rahman.

Kini keempat manusia tersebut baru ingat bahwa Si Kakek adalah orang yang peduli dengan hidup mereka. Kakek yang mengangkat "derajat" keluarga agar bisa hidup layak di Jakarta.

Artinya mereka secara bersama-sama telah membuat kecewa "malaikat penolong" yang baik hati dan mencintai keluarga.

Dan bersama air mata yang mengalir deraspun berkumandang Adzan Dhuhur. Mereka berempat pun melangkah ke Masjid dengan penyesalan yang mendalam.

Ilustrasi: lifestyle.kompas.com
Previous
Next Post »

22 komentar

  1. Balasan
    1. Terima kasih Bang Hendi. Salam sukses selalu!

      Hapus
  2. Baguus sekali, jadi sedih kakek Somad diperlakukan seperti itu..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Sobat Muyassaroh. Salam sukses selalu...

      Hapus
  3. Tak kuasa menahan air mata baca kisah ini. Berlinang deh air mata pagi-pagi.

    BalasHapus
  4. Ini nyata apa karangan Mz? Kok bisa tau betul kehidupan si kakek

    BalasHapus
  5. panjang sekali tulisannya mas
    kakek sangat sabar dan menerima dengan apa yang diberikan Tuhan padanya

    BalasHapus
  6. muliakan orangtua atau pun kakek selagi ada.. ketika momen sudah hilang, pastinya tinggal hanya ada rasa penyesalan ya kang. jadi sedih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup betul teh Vika. Kebersamaan itu indah.

      Hapus
  7. Yaa ampuuun, aku terharuuuu.. Byk pelajaran yg bisa diambil dr cerita ini, duh jd kangen mbah kung :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama mbekayu Ella, saya yang nulis juga terharu.

      Hapus
  8. Bagus sekali mas ceritanya, sangat menyentuh di hati

    BalasHapus
  9. bisa bikin cerpen nih mas ,mantap alur dan kisahnya , siapa yang ngupas bawang merah disini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe...Alhamdulillah Bang Abd Kadir Rusdi. Mulai bisa membuat cerpen. Saya masih belajar dan terus belajar menulis.

      Hapus
  10. Aku ikut nangis baca cerita ini.
    Aku jadi teringat tentang alm.papaku.
    Sedih rasanya dan sampai sekarang kalau teringat beliau, ngga terasa air mataku sering terjatuh tanpa sadar.
    Ada rasa penyesalan karena saat papaku meninggal, aku belum sempat banyak memberikan kebahagiaan.

    Semoga cerita yang terwakilkan di artikel mas Dody ini menginspirasi banyak pembaca untuk selalu menikmati betul-betul moment kumpul bersama ..., selagi di beri kesempatan bertemu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga beliau tenang di alam sana. Sebagai anak keturunan kita mesti melanjutkan kehidupan dengan berusaha melakukan berbagai hal dengan baik.

      Hapus